Pada masa demokrasi liberal Indonesia adalah
masa yang suram juga bagi rakyat Indonesia karena di masa ini yang berkuasa
hanyalah kabinet-kabinet didalam pemerintahan. Kabinet-kabinet yang berkuasa
itu tidak lama (sering pergantian kabinet), diakarenakan banyaknya
partai. Pergantian kabinet ini terjadi hampir tiap tahun karena didalam
pemerintahan tidak ada kabinet yang bertahan lama. Maka ciri khas pada masa
demokrasai liberal ini adalah seringya terjadi pergantian kabinet yang
disebabkan banyaknya partai.
Demokrasi liberal ini berlansung lebih kurang 9 tahun yaitu tahun 1950-1959.
Sejak tanggal 17 Agustus 1950 Republik Indonesia Serikat (RIS) secara resmi
dibubarkan dan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan yang berbentuk
Republik. Negara Kesatuan Republik Indonesia pada saat itu menggunakan UUDS
1950 sampai terbentuknya konstitusi yang tetap.
Dalam UUDS 1950 ditetapkan bahwa sistem demokrasi yang digunakan adalah
demokrasi liberal, sedangkan sistem pemerintahannya adalah kabinet parlementer.
Dalam kabinet perlementer, kekuasaan pemerintahan tertinggi dipegang oleh
perdanan menteri, presiden hanya berkedudukan sebagai kepala negara. Adapun
perdana menteri bersama dengan para menteri (kabinet) bertanggung jawab kepada
parlemen (DPR).Selama berlakunya UUDS 1950, pemerintah Republik Indonesia
diwarnai dengan pergantian tujuh kabinet secara berturut-turut, yaitu sebagai
berikut.
- Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951)
- Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)
- Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 2juni 1953)
- Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
- Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
- Kabinet Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 – 14 Maret 1957)
- Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 5 Juli 1959)
Keadaan politik Indonesia selama pelaksanaan demokrasi liberal sejak
tanggal 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959 penuh dengan pertentangan
antarpartai sehingga menimbulkan kekacauan di berbagai sektor kehidupan
masyarakat Indonesia. Berikut sedikit uraian mengenai keadaan negara Indonesia
masa setiap kabinet yang pernah menjabat.
1. Sosial budaya Indonesia pada masa Kabinet Natsir
Pada masa kabinet ini, yang paling ditonjolkan adalah pendidikan. Hal ini
terdapat pada pemikiran Natsir terhadap Pendidikan di Indonesia. Natsir
berpikir bahwa pendidikan di Indonesia sangat efetif bila didasarkan pada
ajaran islam. Berikut adalah gagasan Natsir terhadap pendidikan dan pengaruhnya
bagi Indonesia dalam buku Tokoh-Tokoh
Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Abuddin Nata, menjelaskan
tentang gagasan dan pemikiran pendidiksan Natsir ( 2005 : 81-94) sebagai
berikut.
a. Tentang
peran dan fungsi pendidikan. Dalam hubungan ini paling kurang
terdapat enam rumusan yang dimajukan Natsir.
Pertama, pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk
memimpin dan membimbing agar manusia yang dikenakan sasaran pendidikan tersebut
dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna.
Kedua, pendidikan harus diarahkan untuk menjadikan anak
didik memiliki sifat- sifat kemanusiaan dengan mencapai akhlak al - karimah
yang sempurna.
Ketiga, pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk
menghasilkan manusia yang jujur dan benar ( bukan pribadi yang hipokrit ).
Keempat, pendidikan agar berperan membawa manusia agar dapat
mencapati tujuan hidupnya, yaitu menjadi hamba Allah Swt.
Kelima, pendidikan harus dapat
menjadikan manusia yang dalam segala perilaku atau interaksi vertical maupun
horizontalnya selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Keenam, pendidikan harus benar- benar mendorong sifat -
sifat kesempurnaannya dan bukan sebaliknya, yaitu menghilangkan dan menyesatkan
sifat -sifat kemanusiaan. Kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Ketaatan kepada
Allah yang mutlak itu mengandung makna menyerahkan diri secara total kepada
Allah. Menjadikan manusia menghambakan diri hanya kepada -Nya.
b. Tentang
tujuan pendidikan Islam. Menurut Natsir, tujuan pendidikan pada hakikatnya
adalah merealisasikan idealitas Islam yang pada intinya menghasilkan manusia
yang berperilaku islami, yakni beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Hal ini
sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang terpatri dalam Undang-Undang No.
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menempatkan beriman dan
bertaqwa kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tujuan sentral.
Menurut M.
Natsir, seorang hamba Allah adalah orang yang ditinggikan derajatnya oleh
Allah, sebagai pemimpin manusia. Mereka menjalankan perintah Allah SWT dan
berbuat baik kepada sesama manusia, menunaikan ibadah terhadap Tuhannya
sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 177 yang artinya.
Bukanlah
kebaikan itu dengan menghadapkan muka ke arah barat dan timur, tetapi kebaikan
itu adalah mereka yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab,
dan nabi -nabi -Nya serta memberikan harta yang disayanginya kepada karib
-karibnya, anak yatim, orang yang terlantar, orang yang terputus uang
belanjanya dalam perjalanan serta untuk memerdekakan manusia dari perbudakan.
Ia mendirikan shalat, membayar zakat, teguh memegang janji apabila ia berjanji,
bersifat sabar dan tenang di waktu bahaya dan bencana.
Berdasarkan
ayat tersebut di atas, seorang hamba Allah adalah mereka yang memiliki enam
sifat sebagai berikut. Pertama, memiliki komitmen iman dan tauhid yang
kokoh kepada Allah serta terpantul dalam perilakunya sehari - hari. Kedua,
memiliki kepedulian dan kepekaan sosial dengan cara memberikan bantuan dan
santunan serta mengatasi kesulitan dan penderitaan orang lain. Ketiga,
senantiasa melakukan hubungan vertikal dengan Tuhan dengan menjalankan ibadah
shalat secara kontinu. Keempat, senantiasa melakukan hubungan horizontal
dengan sesama manusia dengan cara memberikan sebagain harta yang dimiliki
kepada orang lain. Kelima, memiliki akhlak yang mulia yang ditandai
dengan kepatuhan dalam menunaikan janji yang telah diucapkannya, Keenam,
memiliki jiwa yang tabah dalam menghadapi situasi dan kondisi yang kurang
menyenangkan, bahkan menakutkan.
c. Tentang
dasar pendidikan. Dalam tulisannya yang berjudul Tauhid sebagai
Dasar Didikan, M. Natsir menceritakan tentang pentingnya tauhid dengan
mengambil contoh pada seorang professor fisika bernama Paul Ehrenfest yang mati
bunuh diri. Ia berasal dari keluarga baik -baik dan telah memperoleh pendidikan
Barat tingkat tinggi. Telah banyak penemuan -penemuan rahasia alam yang
dihasilkannya dan telah menjadi bahan rujukan dalam dunia ilmu pengetahuan.
Pekerjaannya sehari -hari tak pernah tercela. Demikian pula pergaulannya selalu
dengan orang yang baik -baiknya, bahkan ia sendiri termasuk orang yang ramah.
d. Tentang
ideologi dan pendekatan dalam pendidikan. Natsir mengajukan konsep
pendidikan yang khas ditengah persoalan dikotomis antara pendidikan umum dan
pendidikan agama. Konsep pendidikannya adalah integral, harmonis, dan
universal. Dalam pidato yang ia sampaikan pada rapat Persatuan Islam di Bogor,
17 Juni 1934 dengan judul - Ideologi
Didikan Islam serta dalam
tulisannya di Pedoman Masyarakat pada 1937 dengan judul Tauhid sebagai dasar
Pendidikan, dengan
gamblang menggariskan ideologi pendidikan umat Islam dengan bertitik tolak dari
dan berorientasi kepada tauhid sebagaimana tersimpul dalam kalimat syahadat.
Melalui
dasar tersebut akan tercipta integrasi pendidikan agama dan umum. Konsep
pendidikan yang integral, universal, dan harmonis menurut Natsir, tidak
mengenal dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum, melainkan antara
keduanya memiliki keterpaduan dan keseimbangan. Semua itu dasarnya agama, apa
pun bidang dan disiplin ilmu yang ditekuninya. Sepertinya kelahiran Sekolah Islam
Terpadu saat ini melalui himpunan keanggotaan Jaringan Sekolah Islam Terpadu
Indonesia memiliki nafas yang sama dengan pandangan Natsir ini.
e. Tentang
fungsi bahasa asing. Menurut Natsir bahwa bahasa asing amat besar
perannya dalam mendukung kemajuan dan kecerdasan bangsa. Dalam kaitan ini,
Natsir selalu ingat pada ucapan Dr.G. Drewes yang mengatakan bahwa hanya dengan
mengetahui salah satu bahasa Eropa, yang terutama sekali bahasa Belanda,
masyarakat bumi putra dapat mencapai kemajuan dan kemerdekaan pikiran.
Lebih lanjut
Dr. Drewes sebagaimana dikutip oleh Natsir mengatakan bahwa sebagai dasar bagi
kecerdasan salah satu bangsa adalah bahasa ibunya sendiri. Bahasa erat
kaitannya dengan corak berpikir suatu bangsa. Bahasa dari salah satu bangsa
adalah tulang punggung dari kebudayaannya. Mempertahankan bahasa sendiri
berarti mempertahankan sifat -sifat dan kebudayaannya sendiri. Kultur suatu
bangsa berdiri atau jatuh bergantung pada bahasa dari bangsa itu sendiri.
Sejalan itu, maka bahasa merupakan salah satu faktor terpenting yang mendorong
mutu dan kecerdasan suatu bangsa. Bahasa ibu, bahasa kita sendiri. Adalah
menjadi syarat bagi tegaknya kebudayaan kita.
Demikianlah
antara lain pandangan Natsir terhadap bahasa asing khususnya bahasa Belanda dan
Bahasa Arab. Untuk itu, kepada para siswa harus diberikan kemampuan berbahasa
asing dan dengan melakukan langkah -langkah antara lain .
1. Perlu adanya
upaya membasmi semangat anti-Arab atau anti-Islam yang
diciptakan oleh kolonial linguistik dan penguasa
pribuminya yang taat dan setia.
2. Status
linguistik yang bebas dari bahasa Arab harus diakui dan bahasa Arab harus
diperlakukan tidak lagi sebagai karya teologis.
3. Negara
-Negara Islam yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab, harus menerima bahasa Arab
sebagai bahasa kedua setelah bahasa Nasional ibunya.
f. Tentang
keteladanan guru. Menurut DR.G.J. Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh
Natsir, suatu bangsa tidak akan maju, sebelum adanya guru yang mau berkorban
untuk kemajuan bangsa tersebut pernyataan ini dikutip oleh Natsir, karena pada
saat itu minat kalangan akademik untuk menjadi guru sudah mulai menuru.
Berkaitan dengan masalah ini, Natsir menulis artikel dengan kalimat pembuka :
Sekarang saya mempropagandakan pendidikan, tetapi nanti saya tidak dapat
mendidik anak -anak saya. Pernyataan kalimat tersebut merupakan salah satu
alasan yang dikemukakan seorang lulusan HIK yang pernah menjadi pemuka dari
organisasi guru -guru di Indonesia. Dari ungkapan itu Natsir memahami mengapa
guru tamatan HIK menukar pekerjaannya ( alih profesi ) dari yang semula sebagai
guru menjadi pegawai pos.
Sistem
pendidikan Belanda memang betul dapat memberikan bekal pengetahuan modern,
keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan oleh zaman, tapi sayang jiwanya
kerdil, dan dikotomis karena tidak memiliki landasan iman dan akhlak yang
mulia. Di sisi lain pendidikan pesantren dan madrasah memang betul memberikan
bekal akidah dan akhlak yang mulia, tapi tidak memberikan bekal ilmu
pengetahuan modern, teknologi dan keterampilan yang memenuhi kebutuhan masyarakat
sekarang.
2. Dampak positif dan negatif dari
perjanjian MSA (Mutual Security Act) pada masa Kabinet Sukiman
Kabinet Sukiman adalah koalisi antara
Masyumi dengan PNI. Pada masa Kabinet Sukiman bermunculan berbagai
gangguan keamanan, sepertiDI/TII semakin meluas dan Republik Maluku Selatan.
Kabinet ini jatuh disebabkan kebijakan politik luar negerinya diangap condong
ke Serikat. Pada 15 Januari 1952 diadakan penandatanganan Mutual Security Act
(MSA) yangi berisi kerja sama keamananan dan Serikat akan memberikan
bantuan ekonomi dan militer.
Mutual Security Act
(MSA) adalah program bantuan militer dan keuangan oleh Amerika Serikat pada
awal Perang Dingin di tahun 1950an. MSA diluncurkan pada tahun 1951 dan
berlangsung hingga tahun 1961. Bantuan ini diberikan ke banyak negara dan
menggantikan program bantuan Marshall Plan yang diluncurkan di akhir Perang
Dunia II.
Tujuan utama
MSA adalah membantu negara-negara berkembang yang terancam penyebaran
komunisme, dan berbentuk bantuan militer, ekonomi, dan teknis kepada negara
sekutu Amerika Serikat. Bantuan tersebut terutama ditujukan untuk mendukung
negara-negara Eropa Barat saat Perang Dingin mulai memanas.
Indonesia
juga merupakan salah satu negara yang mendapatkan bantuan MSA dari Amerika
Serikat pada masa Kabinet Sukirman (27 April 1951 hingga 25 Februari 1952). Ini
setelah Menteri Luar Negeri pada kabinet tersebut, Achmad Subarjo
menandatangani perjanjian ini. Indonesia pun mendapatkan bantuan militer dana.
Namun
penandatanganan perjanjian ini ditentang berbagai kalangan di Indonesia dan
akhirnya menyebabkan jatuhnya kabinet tersebut.
Akibat dari penandatanganan ini,
kabinet Sukirman yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sukiman Wiryosanjoyo,
dianggap melanggar prinsis hubungan luar negeri “bebas aktif”, dan menjadikan
Indonesia bersekutu dengan Amerika Serikat.
Karena
itu, Partai Masyumi, yang saat itu dipimpin oleh Muhammad Natsir, menolak
mendukung penandatanganan MSA ini. Akibatnya, Kabinet Sukirman kehilangan
mandatnya. Pada 23 Februari 1952, Sukiman Wiryosanjoyo menyerahkan kembali
mandatnya sebagai perdana menteri kepada presiden Sukarno, dan membubarkan
kabinetnya. Kabinet Sukirman ini kemudian digantikan oleh kabinet Wilopo.
·
Dampak
Positif perjanjian MSA
1. Meningkatnya keamanan negara
Indonesia
Dengan
tertandatanganinya perjanjian ini, negara Indonesia mendapat bantuan militer
dari AS untuk menjaga Indonesia dari segala ancaman terutama ancaman paham
komunis. Hal ini sesuai dengan isi perjanjian tersebut dimana AS berusaha
membendung paham komunis agar Teori Domino tidak terjadi.
2. Perekonomian negara Indonesia
semakin maju
Tak hanya bantuan
militer, Indonesia juga mendapat bantuan ekonomi dari Amerika untuk
meningkatkan pembangunan dan mengatasi masalah perekonomian negara Indonesia,
sesuai syarat yang ditawarkan oleh AS, yaitu “Sebagai imbalan negara peminjam
diwajibkan : Berusaha menstabilkan keuangan masing-masing negara dan
melaksanakan anggaran pendapatan yang berimbang. Mengurangi
penghalang-penghalang yang menghambat kelancaran perdagangan antara
negara-negara peminjam. Mencegah terjadinya inflasi. Menempatkan perekonomian
negara masing-masing negara atas dasar sendi-sendi perekonomian yang sehat.
Memberikan bahan-bahan yang diperlukan Amerika Serikat untuk kepentingan
pertahanan. Meningkatkan persenjataan masing-masing negara untuk kepentingan
pertahanan.”
3. Terhadangnya paham komunis masuk ke
Indonesia
Alasan utama mengapa AS
mengadakan perjanjian ini adalah untuk menghadang komunisme agar tida terjadi
teori domino. Teori domino
adalah teori yang berspekulasi bahwa apabila sebuah negara di suatu kawasan
terkena pengaruh komunisme, negara-negara sekitarnya akan ikut dipengaruhi
komunisme lewat efek domino. Teori yang sering didengungkan pada tahun 1950-an
sampai 1980-an ini digunakan oleh beberapa presiden Amerika Serikat semasa Perang
Dingin sebagai alasan intervensi A.S. di seluruh dunia. Salah satu syarat
agar mendapat bantuan AS adalah “Bantuan akan dihentikan apabila di negara
peminjam terjadi pergantian kekuasaan yang mengakibatkan negara tersebut
melaksanakan paham komunis.”
4. Terjalinnya sebuah kerja sama
antara Indonesia dengan AS
Dengan terjalinya kerja
sama, hal ini akan membantu sesama negara apabila mengalami kesulitan dalam
mengelola negara
·
Dampak
negatif perjanjian MSA :
1.
Lengsernya
kabinet Sukiman
Pertukaran nota antara Menteri
Luar Negeri Achmad Soebardjo dan Duta
Besar Amerika Merle Cochran menjadi penyebab lengsernya kabinet ini. Isi
nota tersebut adalah bantuan ekonomi dan militer yang diberikan oleh Amerika
Serikat kepada Indonesia berdasarkan Mutual Security Act (MSA) atau
lebih dikenal dengan nama undang-undang kerja sama keamanan.
Hal tersebut
dinilai menciderai konsep politik luar negeri bebas aktif yang selama ini
dianut oleh Indonesia. Kabinet Sukiman dituduh telah menjadikan Indonesia masuk
ke dalam Blok Barat. Hal itulah yang membuat DPR menggugat kebijakan kabinet
tersebut dan akhirnya kabinet tersebut jatuh.
2. Tidak maksimalnya pembangunan
Indonesia yang telah direncanakan oleh kabinet Sukiman
Dengan lengsernya kabinet Sukiman, semua pembangunan
yang telah direncanakan sebelumnya tida terealisasikan, akibatnya pembangunan
di Indonesia tidak maksimal.
3. Analisis Peristiwa Tanjung Morawa
pada masa Kabinet Wilopo
Peristiwa Tanjung Morawa terjadi pada 16 Maret 1953
di daerah Tanjung Morawa (ssekarang bernama Kabupaten Deli Serdang, Sumatera
Utara). Peristiwa ini merupakan konflik perebutan lahan seluas 255.000 Hektar
yang merupakan perkebunan kelapa sawit, teh dan tembakau milik perusahaan
Belanda bernama Deli Palnters Vereniging (DPV) yang dikerjakan oleh Pribumi dan
keturunan Tionghoa ketika Jepang berkuasa di Indonesia. Peristiwa Tanjung
Morawa turut menyeret jatuhnya Kabinet Perdana Menteri (PM) Wilopo pada era
Demokrasi Liberal (1950-1959).
Permasalahan Tanjung Morawa muncul ketika tanah yang
sebelumnya digarap oleh pribumi dan Tionghoa harus dikembalikan kepada DPV atas
dasar Konferensi Meja Bundar (KMB). Kesepakatan KMB menghasilkan pengakuan
kemerdekaan, namun dengan syarat pengembalian lahan kepada investor asing tak
terkecuali Belanda. Luas tanah DPV sebelum meletusnya PD II adalah 255.000 Ha.
Tanah seluas 125.000 Ha adalah tanah yang diminta DPV, sedangkan sisanya yaitu
130.000 dikembalikan kepada pemerintah Indonesia.
Atas kesepakatan tersebut, Kabinet Wilopo mengutus
Menteri Dalam Negeri, Mohammad Roem untuk melakukan pengosongan lahan.
Pengosongan tersebut ditujukan kepada Gubernur Sumatera, A. Hakim. Perintah
tersebut semula akan dituruti oleh masyarakat petani dan keturunan Tionghoa,
namun terjadi provokasi oleh Barisan Tani Indonesia (BTI) yang merupakan
organisasi dibawah naungan PKI sehingga yang awalnya bersikap kooperatif
menjadi menolak kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut.
Penolakan tersebut akhirnya berujung pada konflik
pada tanggal 16 Maret 1953. Pemerintah mengerahkan unit traktor dan mendapatkan
perlindungan dari aparat Brigade Mobil (Brimob). Para petani melakukan aksi
demonstrasi atas pentraktoran dan bentrokpun tak terhindarkan. Pada insiden
tersebut terjadi tragedi penembakan yang menimbulkan 21 korban, dimana 6
diantaranya tewas.
Insiden ini kemudian menjadi perbincangan di
Parlemen Indonesia. Bisa dibilang kejadian Tanjung Morawa kemudian menjadikan
kesempatan dari partai oposisi di parlemen untuk menjatuhkan Kabinet Wilopo.
Tokoh - tokoh PNI mencela pemerintah, kemudian Sidik Kertapati yang merupakan
tokoh Sarekat Tani Indonesia (SAKTI) melayangkan mosi tidak percaya kepada
Kabinet Wilopo. Akibat mosi tidak percaya ini, kemudian diadakan tindak lanjut
dan diputuskan PM Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada
tanggal 2 Juni 1953
4.
Mengapa
terjadi koalisi PNI dengan NU dan Masyumi sebagai Oposisi pada Masa
Kabinet Ali
Sastroamijoyo I ?
Pada tanggal 3 Juni 1953, Perdana
Menteri Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden sebagai akibat dari
Peristiwa Tanjung Morawa. Dengan demikian kabinet dinyatakan demisioner.
Kabinet Ali Sastroamijdojo merupakan kabinet pengganti dari Kabinet Wilopo.
Kabinet Ali mengisi krisis pemerintahan di Indonesia pasca kekosongan selama 58
hari (sepeninggalan Kabinet Wilopo).
Untuk mengisi
jabatan Perdana Menteri ditunjuk Ali Sastroamidjojo yang saat itu menjabat Duta
Besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Ali Sastroamidjojo dari PNI sempat ragu,
karena selama ini belum pernah diajak bicara oleh partainya mengenai
pembentukkan kabinet. Tetapi setelah didesak oleh Ketua Umum PNI, Sidik
Joyosukarto, akhirnya Ali Sastroamidjojo mau menduduki jabatan perdana menteri.
Akhirnya pada tanggal 30 Juli 1953, Presiden mengumumkan pembentukan Kabinet
Ali Sastroamidjojo yang kemudian disahkan dengan Keputusan Presiden RI No. 132
Tahun 1953 tertanggal 30 Juli 1953. Pelantikan Ali Sastroamidjojo sebagai
Perdana Menteri dilangsungkan di Istana Negara pada tanggal 12 Agustus 1953.
Dalam
Kabinet Ali, Masyumi merupakan partai terbesar kedua dalam parlemen tidak turut
serta, dalam hal ini NU (Nahdatul Ulama) kemudian mengambil alih sebagai
kekuatan politik baru. Maka dari itu, terjadilah koalisi antara PNI dan NU.
Mengapa Masyumi tidak ikut serta sehingga menjadi pihak oposisi? Hal ini karena
adanya
beberapa perbedaan dan arah tujuan di antara kalangan politii pada waktu revolusi.
Perseteruan
antara Presiden dan Masyumi terjadi pada saat Kabinet Sukiman. Seperti yang
terjadi perbedaan pendapat antara Sukarno yang tidak setuju tentang perdamaian
dengan Jepang, dan penerimaan bantuan dari Amerika Serikat. Sebaliknya dengan
Sukiman yang akan melakukan pembersihan terhadap PKI. Meskipun begitu Sukarno
tetap menahan diri. Kabinet Sukiman menjadi paling terkenal dengan dilakukannya
satu-satunya usaha yang serius pada masa
itu untuk menumpas PKI. Kaum PKI menjadi komunis menjadi marah dengan
bersedianya PNI bergabung dalam suatu koalisi dengan Masyumi, karena strategi
mereka sangat tergantung pada kedua partai itu masih terus bertikai satu sama
lain.
Selanjutnya
pada kabinet Wilopo perdebatan antara Sukarno dengan Masyumi menyangkut masalah
ideologi atau dasar negara Indonesia. Sukarno pernah berpidato di Amuntai,
Kalimantan Selatan tanggal 27 Januari 1953. Pada kesempatan itu pula ia
berpidato tentang keinginan negara nasional dan bukan negara berdasarkan Islam.
Pernyataan Sukarno itu mendapat tanggapan berbagai kalangan, khususnya
tokoh-tokoh Masyumi.
Keterlibatan PKI sejauh ini belum
terlalu memiliki pengaruh yang besar. Karena saat itu sedang memanasnya
hubungan Sukarno dengan Partai Masyumi. Setelah kabinet Wilopo mengembalikan
mandatnya kepada Presiden, Kabinet Ali I mulai menjalankan pemerintahan pada
tanggal 12 Maret 1953. Pada masa inilah untuk pertama kalinya Masyumi tidak
duduk dalam kabinet, sehingga menempatkan Masyumi dalam partai oposisi.
Pendaftaran pemilih dalam Pemilu 1955 mulai
dilaksanakan sejak bulan Mei 1954 dan baru selesai pada November. Tercatat ada
43.104.464 warga yang memenuhi syarat masuk bilik suara. Dari jumlah itu,
sebanyak 87,65% atau 37.875.299 yang menggunakan hak pilihnya pada saat itu.
Tidak kurang dari 80 partai politik, organisasi massa, dan puluhan perorangan
ikut serta mencalonkan diri dalam Pemilu yang pertama ini.
Keseluruhan peserta Pemilu pada saat itu mencapai 172
tanda gambar. Pada Pemilu ini, anggota TNI-APRI, juga menggunakan hak pilihnya
berdasarkan peraturan yang berlaku ketika itu. Pada pelaksanaan Pemilu pertama,
Indonesia dibagi menjadi 16 daerah pemilihan yang meliputi 208 daerah
kabupaten, 2.139 kecamatan, dan 43.429 desa. Dengan perbandingan setiap 300.000
penduduk diwakili seorang wakil. Pemilu pertama ini diikuti oleh banyak partai
politik karena pada saat itu NKRI menganut kabinet multi partai sehingga DPR
hasil Pemilu terbagi ke dalam beberapa fraksi.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua
tahap, yaitu:
a) Tahap pertama adalah
Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29
September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu.
b) Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota
Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Selain pemilihan DPR dan Konstituante, juga diadakan
pemilihan DPRD. Pemilu DPRD dilaksanakan dalam dua tahap, Juni 1957 pemilu
untuk Indonesia wilayah Barat, dan Juli 1957 untuk pemilu Indonesia wilayah
Timur. Dengan dipisahnya waktu penyelenggaraan pemilu DPR, Konstituante, dan
DPRD, pemilu menjadi fokus.
Meskipun Kabinet Ali Jatuh, pemilu terlaksana sesuai
dengan rencana semasa kabinet Burhanudin Harahap. Pemilu yang pertama
dilaksanakan pada tahun 1955. Sekitar 39
Juta rakyat Indonesia datang ke bilik suara untuk memberikan suaranya. Pemilu
saat itu berjalan dengan tertib, disiplin serta tanpa politik uang dan tekanan
dari pihak manapun. Oleh karena itu, banyak pakar politik yang menilai bahwa
pemilu tahun 1955 sebagai pemilu paling demokratis yang terlaksana di Indonesia
sampai sekarang.
Menurut George McTurnan Kahin, Pemilu tahun 1955
tersebut begitu penting sebab dengan itu kekuatan partai-partai politik terukur
lebih cermat dan parlemen yang dihasilkan lebih bermutu sebagai lembaga
perwakilan. Sebelum Pemilu, parlemen selalu menjadi sasaran kekecewaan,
terutama dari kelompok militer yang merasa kepentingannya selalu dicampuri.
Selain itu, masyarakat luas juga memiliki harapan akan suksesnya Pemilu karena
kabinet berulang-kali jatuh-bangun; wewenang pemerintah yang selalu mendapat
rintangan dari tentara; korupsi; nepotisme dan pemerintah yang terkesan lumpuh
di dalam menghadapi berbagai persoalan. Karena belum ada lembaga penyelenggara
pemilihan umum yang mapan, pengorganisasian pemungutan suara menjadi
tanggungjawab pemerintah dan wakil-wakil partai politik. Organisasi itu
terdapat pada setiap jenjang pemerintahan, mulai dari pusat sampai ke tingkat
desa. Partai-partai berjuang untuk merebut
simpati rakyat dengan berbagai jalan, salah satunya mengembangkan cara kampanye
simpatik dengan mengunjungi rumah penduduk satu per satu. Penggalangan massa
ini dinilai efektif untuk meyakinkan calon pemilih yang masih ragu-ragu untuk
menentukan pilihannya.
Penyelenggaraan Pemilu tahun 1955 menelan biaya Rp
479.891.729. Angka itu dikeluarkan untuk membiayai perlengkapan teknis
pemilihan seperti pembuatan kotak suara dan honorarium panitia penyelenggara
Pemilu. Menurut Herbert Feith dana Pemilu itu sebenarnya terlampau mahal. Salah
satu faktor yang mendongkrak kenaikan biaya adalah kelambanan unit-unit kerja
panitia Pemilu yang pada akhirnya menambah beban biaya.
Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo ke-2, muncul
"Gerakan Assaat", suatu
gerakan yang diprakarsai Mr. Assaat. Gerakan ini menuntut pembedaan perlakuan
dan pemberian fasilitas kepada pengusaha-pengusaha "asli" dan
"pribumi". Mr. Assaat yang pada saat itu menjadi anggota parlemen
yang dekat dengan Masjumi, mendesak pemerintah agar mengeluarkan peraturan
untuk menghentikan keterlibatan orang-orang Tionghoa, baik warga negara
Indonesia maupun asing, dari berbagai bidang usaha yang dianggap menguntungkan.
Dengan terus terang ia menyatakan kesiapannya untuk menjalankan program-program
anti Tionghoa. Menurut pandangannya, orang Tionghoa tidak bisa dipercaya dan
tidak boleh dibiarkan menguasai ekonomi Indonesia. Ia juga menyerang orang
Tionghoa sebagai golongan yang tidak loyal kepada negara, malahan menyatakan
bahwa golongan keturunan Arab berbeda dengan orang Tionghoa dan harus
dikatagorikan sebagai "asli".
Gerakan Asaat memberikan
perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia Asli dalam segala aktivitas
usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing pada
terhadap gerakan ini terlihat dari pernyataan yang dikeluarkan pemerintah pada
Oktober 1956 bahwa pemerintah akan memberikan lisensi khusus pada pengusaha
pribumi. Ternyata kebijakan pemerintah ini memunculkan reaksi negatif yaitu
muncul golongan yang membenci kalangan Cina. Bahkan reaksi ini sampai
menimbulkan permusuhan dan pengrusakan terhadap toko-toko dan harta benda milik
masyarakat Cina serta munculnya perkelahian antara masyarakat Cina dan
masyarakat pribumi.
7. Keterkaitan Deklarasi Djuanda dengan teritorial Indonesia dan Munculnya
Pemberontakan PRRI Permesta pada Masa Kabinet Djuanda/Karya.
a. Keterkaitan Deklarasi Djuanda dengan teritorial
Indonesia
Secara geografis, negara Indonesia adalah negara
kepualan dengan lautan yang sangat luas dan ribuan pulau besar dan kecil. Pada
awal kemerdekaan, kekayaan alam di lautan belum dapat dikuasai secara penuh
negara Indonesia. Waktu itu tidak semuanya merupakan laut territorial,
melainkan sebagian merupakan laut bebas dan laut internasional. Hal ini dikarenakan
Indonesia masih menggunakan peraturan kolonial terkait dengan batas wilayah, Zeenen
Maritieme Kringen Ordonantie, 1939 yang dalam pasal 1 menyatakan bahwa:
“Laut territorial Indonesia itu lebarnya 3
mil diukur dari garis air rendah (laagwaterlijn) dari pada pulau-pulau dan
bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebeid) dari
Indonesia.”
Berdasarkan
pasal tersebut, Indonesia jelas merasa dirugikan, yaitu:
1.
Kesatuan wilayah Indonesia tidak utuh
2.
Batas 3 mil dari daratan menyebabkan adanya laut-laut
bebas yang memisahkan pulau-pulau di Indonesia. Hal ini menyebabkan kapal-kapal
asing bebas mengarungi lautan tersebut tanpa hambatan. Kondisi ini akan
menyulitkan Indonesia dalam melakukan pengawasan wilayah Indonesia.
3.
Sebagai suatu negara yang berdaulat Indonesia berhak
dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk
melindungi keutuhan dan keselamatan Republik Indonesia.
4.
Kekayaan alam yang terdapat di luar 3 mil tidak dapat
dikuasai dan dimanfaatkan oleh Indonesia
Melihat
kondisi inilah kemudian pemerintahan Kabinet Djuanda mendeklarasikan hukum
teritorial kelautan nusantara yang berbunyi:
”Segala perairan di sekitar, diantara dan
yang menghubungkan pulau-pulau atau bagan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara
Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah
bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan
dengan demikian merupakan bagian dari pada perairan nasional yang berada di
bawah kedaulatan mutlak dari pada Negara Republik Indonesia. Lalu lintas
yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin
selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/ menganggu kedaulatan dan
keselamatan negara Indonesia”.
Dari
deklarasi tersebut dapat kita lihat bahwa faktor keamanan dan pertahanan
merupakan aspek penting, bahkan dapat dikatakan merupakan salah satu sendi
pokok kebijaksanaan pemerintah mengenai perairan Indonesia. Dikeluarkannya
deklarasi ini membawa manfaat bagi Indonesia yaitu mampu menyatukan
wilayah-wilayah Indonesia dan sumber daya alam dari laut bisa dimanfaatkan
dengan maksimal. Deklarasi tersebut kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda.
Deklarasi
Djuanda dicetuskan pada tanggal 13
Desember 1957
oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja
Dasar
pertimbangan pemerintah untuk menetapkan Deklarasi Djuanda adalah:
1.
Bentuk geografi Indonesia sebagai suaut negara
kepualan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak
tersendiri, memerlukan pengaturan tersendiri pula
2.
Bagi keutuhan terirotial dan untuk melindungi kekayaan
negara Indonesia, semua kepulauan serta laut diantaranya harus dianggap sebagai
satu kesatuan yang sangat bulat.
3.
Penentuan batas lautan territorial seperti termaktub
dalam Teritorial Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939, tidak sesuai dengan
kepentingan keselamatan dan keamanan bagi wilayah daratan Indonesia
4.
Setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban
untuk mengambil langkah dan tindakan yang dipandang perlu guna melindungi
keutuhan dan keselamatan negara.
Deklarasi
Djuanda mengandung konsep bahwa tanah air yang tidak lagi memandang laut
sebagai alat pemisah dan pemecah bangsa, seperti pada masa kolonial, namun
harus dipergunakan sebagai alat pemersatu bangsa dan wahana pembangunan
nasional yang terkenal dengan sebutan wawasan nusantara.
Deklarasi Djuanda membuat batas kontinen laut kita diubah dari 3 mil batas air
terendah menjadi 12 mil dari batas pulau terluar. Kondisi ini membuat
wilayah Indonesia semakin menjadi luas dari sebelumnya hanya 2.027.087 km2
menjadi 5.193.250 km2.
Dikeluarkannya
Deklarasi Djuanda membuat banyak negara yang keberatan terhadap konsepsi
landasan hukum laut Indonesia yang baru. Untuk merundingkan penyelesaian
masalah hukum laut ini, pemerintah Indonesia melakukan harmonisasi hubungan
diplomatik dengan negara-negara tetangga. Selain itu Indonesia juga melalui
konferensi Jeneva pada tahun 1958, berusaha mempertahankan konsepsinya yang
tertuang dalam deklarasi Djuanda dan memantapkan Indonesia sebagai Archipelagic
State Principle atau negara kepulauan.
Deklarasi
Djuanda ini baru bisa diterima di dunia internasional setelah ditetapkan dalam
Konvensi Hukum Laut PBB yang ke-3 di Montego Bay (Jamaika) pada tahun 1982 (United
Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Pemerintah
Indonesia kemudian meratifkasinya dalam UU No.17/ 1985 tentang pengesahan
UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Setelah diperjuangkan
selama lebih dari dua puluh lima tahun, akhirnya pada 16
November 1994, setelah diratifkasi oleh 60
negara, hukum laut Indonesia diakui oleh dunia internasional. Upaya ini
tidak lepas dari perjuangan pahlawan diplomasi kita, Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja dan Prof. Dr. Hasjim Djalal, yang setia mengikuti berbagai
konferensi tentang hukum laut yang dilaksanakan PBB dari tahun 1970an hingga
tahun 1990an. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, tanggal 13
Desember dicanangkan sebagai hari Nusantara dan ketika masa Presiden Megawati
dikeluarkan keputusan Presiden No. 126/2001 tentang hari Nusantara dan tanggal
13 resmi menjadi hari perayaan nasional.
b. Munculnya Pemberontakan PRRI dan Permesta
Munculnya pemberopntakan prri dan permesta bermula dari adanya persoalan di
dalam Angkatan Darat, berupa kekecewaan atas minimnya kesejahteraan tentara di
Sumatera dan Sulawesi. Hal ini mendorong beberapa tokoh militer untuk menentang
kepala staf Angkatan Darat (KSAD). Persoalan kemudian ternyata malah meluas
pada tuntutan otonomi daerah. Ada ketidak adilan yang dirasakan beberapa tokoh
militer dan sipil di daerah terhadap pemerintah pusat dalam alokasi dana
pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan – dewan
daerah sebagai alat pejuang tuntutan pada Desember 1056 dan Februari 1957,
seperti :
a. Dewan banteng di sumatera barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.
b. Dewan gajah di sumatera utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan.
c. Dewan garuda di sumatera selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
d. Dewan manguni di sulawesi utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumuel.
Dewan – dewan ini bahkan kemudian mengambil alih kekuasaan pemerintah
daerah diwilayahnya masing – masing. Beberapa tokoh sipil dari pusat pun
mendukung meraka bahkan bergabung kedalamnya, seperti Syafruddin Prawiranegara,
Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir. KSAD Abdul Haris Nasution dan PM
Juanda sebenarnya berusaha mengatasi krisis ini dengan jalan musyawarah, namun
gagal.Ahmad Husein lalu mengultimatum pemerintah pusat, menuntut agar kabinet
Djuanda mengundurkan diri dan menyerahkan mandatnya kepada presiden. Tuntutan
tersebut jelas ditolak oleh pemerintah pusat. Krisis pun akhirnya memuncak pada
tanggal 15 Februari 1958 Ahmad Husein memproklamirkan berdirinya Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang, Sumatera Barat. Seluruh dewan
perjuangan di Sumatera dianggap mengikuti pemerintah ini. Sebagai perdana
menteri PRRI ditunjuk Mr. Syafruddin Prawiranegara.
Bagi Syarifuddin, pembentukan PRRI hanyalah sebuah upaya untuk
menyelamatkan negara indonesia, dan bukan memisahkan diri. Apalagi PKI saat itu
mulai memiliki pengaruh di pusat. Tokoh – tokoh sipil yang ikut dalam PRRI
sebagian memang berasal dari partai Masyumi yang dikenal anti PKI. Berita
proklamasi PRRI ternyata disambut dengan antusias oleh para tokoh masyarakat
Manado, Sulawesi Utara. Kegagalan musyawarah dengan pemerintah, menjadikan
mereka mendukung PRRI, mendeklarasikan Permesra sekaligus memutuskan hubungan
dengan pemerintah pusat (kabinet Djuanda).
Pemerintah pusat tanpa ragu – ragu langsung bertindak tegas. Operasi
militer dilakukan untuk menindak pemberontak yang diam – diam ternyata didukung
oleh Amerika Serikat. AS berkepentingan dengan pemberontakan ini karena
kekhawatiran mereka terhadap pemerintah pusat indonesia yang bisa saja
dipengaruhi komunis. Pada tahun itu juga pemberontakan PRRI dan Permesta
berhasil dipadamkan. Upaya Pemerintah Untuk Menumpas Pemberontakan PRRI dan
Permesta adalah :
1.
Dalam mengatasi dewan banteng pemerintah
mengirimkan komisi penyelidiki keadaan untuk mengetahui lebih dalam tentang
tujuan - tujuan. Akan tetapi penyelidikan ini tidak berhasil karena A. Husein
tidak mau berbicara kecuali dengan delegasi resmi pemerintah pusat.
2.
Dalam menanggapi adanya ultimatum kabinet
juanda memberikan tanggapan dengan tindakan tegas yaitu memeacat A.
Husein, simbolon, zulkifli lubis. Yang kemudian disusul dengan gerakan
KSAD Nasution pada tanggal 12 februari 1958 dengan membekukan
daerah komando sumatra tengah.
3.
Dengan diproklamirkan PRRI pada tanggal 15
Februari 1958. Maka KSAD memutuskan adanya operasi meliter yaitu operasi 17
agustus operasi gabungan AD, AL dan AU yang dipimpin oleh A. Yani..
4.
Dalam menghadapi Permesta pemerintah
melakukan pemecatan terhadap Somba dan mayor Runturambi dan dilanjutkan dengan
Insaf yang dipimpin oleh letkol jonosewojo. Yang kemudian untuk menangani
pengeboman manado, gororontalo, jailolo, dan morotai oleh AUREV operasi Merdeka
yang terdiri dari operasi Saptamarga dan operasi Mena. Dengan penguasaan
terhadap kota - kota basis PRRI dan Permesta. Hingga pada tahun 1961 perlawanan
bereakhir dengan menyerahnya pimpinan PRRI dan Permesta.
Demikianlah penjelasan mengenai Kondisi Politik Indonesia masa demokrasi
liberal. Menurut saya, demokrasi liberal apabila diterapkan di Indonesia sama
sekali tidak cocok. Mengapa? Karena hal itu justru menimbulkan berbagai
masalah, mulai dari tidak maksimalnya pembangunan bahkan sampai pemberontakan
serta tidak searah dengan ideologi bangsa yaitu Pancasila. Dengan adanya
sejarah, kita bisa belajar dari masa lalu untuk bisa membangun Indonesia
menjadi lebih baik lagi. Jangan sampai terjun ke lubang yang sama untuk yang
kedua kalinya. Semoga bermanfaat dan terimakasih sudah berkunjung ke blog saya
ya!
Daftar Pustaka
http://anitaramdhani.blogspot.co.id/2011/09/muhammad-natsir-dalam-sejarah-pemikiran.htmlwww.donisetyawan.com/bantuan-ekonomi-pada-perang-dingin/
http://www.idsejarah.net/2017/09/peristiwa-tanjung-morawa.html
http://mnabilkarim1.blogspot.co.id/2016/02/masyumi-dalam-persimpangan-politik-1945.html
http://www.idsejarah.net/2014/11/pemilihan-umum-1955.html
http://www.mikirbae.com/2016/04/pemikiran-ekonomi-nasional.html
http://www.donisetyawan.com/deklarasi-djuanda/
https://id.wikipedia.org/wiki/Deklarasi_Djuanda
http://kang-op.blogspot.co.id/2017/07/tugas-sejarah-indonesia-makalah-singkat.html
0 komentar:
Posting Komentar